
4 Agustus 2007
“Nin, aku suka kamu.” Akhirnya aku mendengar kalimat itu terucap untukku. Aku tersenyum, cukup surprise meskipun aku sudah mempersiapkan hatiku untuk menerimamu. Namun, alih-alih menjawab ‘iya’ aku malah bertanya, “Kenapa bisa suka denganku? Bukan yang lain? Sejak kapan?” Aku melihat kegugupan di wajahmu, bahkan kamu tak berani duduk di sampingku seperti biasa, tapi berdiri tepat di depanku dan menatap mataku. “Entahlah, mungkin sejak kelas dua SMA, atau sebelumnya. Saat kamu bilang kamu sudah punya pacar, perasaanku saat itu sakit, dan aku baru sadar ternyata aku suka kamu. Dan kenapa aku bisa suka, karena selama ini kamu yang selalu ada di sampingku, yang selalu membantuku, yang selalu sabar padaku. Dan aku tahu, kamu nggak akan histeris setelah mendengar pengakuanku ini. Itu yang paling aku suka,”jawabmu tuntas.
“Aku juga suka kamu,”kataku akhirnya. Mengaku. Dan aku melihat sedikit keterkejutan di matamu. “Sejak lama, waktu kelas 2 SMP.” Sejak kamu meminjam buku ceritaku, kamu juga diam-diam meminjam hatiku. Bukunya kamu kembalikan, tapi hatiku tidak, sampai sekarang,kataku dalam hati.
“Tapi kenapa baru sekarang ngomongnya?”tanyaku lagi. Kulihat kamu agak lama berpikir, sebelum akhirnya kamu menjawab,”Karena aku perlu meyakinkan diriku,Nin. Aku ingin ini menjadi yang pertama dan yang terakhir buatku.” Aku melayang saat itu.
“Jadi?” tanyamu padaku.
“Jadi, kita seperti biasa saja.”jawabku. Apalagi? Karena saat kamu bilang aku tak akan histeris, aku tak punya pilihan lain selain menjawab seperti itu. Tak ada tuntutan, seperti biasa. Dan kamu mengangguk.
17 Agustus 2007
Aku tak melihat dirimu. Aku bertanya-tanya kepada teman-teman yang lain, mereka tak tahu kabarmu. Padahal aku ingin, sangat ingin bertemu denganmu. Ada hal yang harus aku bicarakan. Sampai akhirnya aku mendapat kabar bahwa kamu sedang sakit. Mengetahui itu, aku jadi tidak konsentrasi mengikuti upacara, tidak nafsu makan, pikiranku kalut. Dan aku memutuskan ke rumahmu sore harinya.
“Ada apa?” tanyamu saat aku datang. Wajahmu sedikit pucat saat itu, membuatku sedikit tak tega kalau harus membicarakan masalahku padamu. Tapi aku harus bilang padamu karena waktuku tak banyak. Aku butuh kepastian dan dukungan.
“Dia memberiku 24 jam untuk memutuskan.” Keningmu sedikit berkerut mendengar kata-kataku.
“Biar aku yang bicara dengannya.” Akhirnya aku menyerahkan semua padamu. Dan aku sangat ingin memelukmu, saat kamu bilang tak akan melepasku sampai kapan pun. 17 Agustus, bukan hanya hari kemerdekaan Indonesia, tapi juga hari kemerdekaan untukku.
***
Tahun pertama sudah lewat. Banyak hal yang terjadi di antara kita. Tapi satu hal yang pasti, kamu sedikit berubah. Kamu lebih canggung dari sebelumnya, memanggilku dengan nama, dan sangat-sangat sopan padaku. Teman-teman di kelas sudah curiga, bahwa kita “putus”. Sumpah, ini membuatku tertawa karena kita justru baru mulai.
Hingga pada tahun kedua. Tahun terberat yang harus kita lalui bersama. Tahun dimana kita terpisah jarak. Karena 5 tahun sebelumnya kita selalu bersama, kali ini aku benar-benar frustasi karena jauh darimu. Tapi itu harus aku lakukan, demi cita-citaku.
Aku tahu, banyak godaan dan cobaan melanda. Mulai dari kecuekanmu yang hampir membuatku putus asa sehingga aku mencoba mencari perhatian dari yang lain sampai-sampai kita harus break untuk sementara. Aku benar-benar merasa sangat egois dan sedih, karena kamu menerima apa pun keputusanku saat itu. Kamu memberiku waktu dan aku bersyukur itu tak berlangsung lama. Aku sadar, bahwa kamu adalah yang terbaik dan tak tergantikan oleh siapa pun. Apalagi saat kamu sedang dalam masa berkabung karena kehilangan seseorang yang sangat penting dalam hidupmu. Saat itu aku berkata dalam hati, bahwa aku akan selalu berada di sisimu, mendukungmu, dan menemanimu hingga kamu tak perlu merasa takut atau pun bersedih. Aku ingin menjadi kebahagiaanmu.
Hal tak terlupakan saat itu adalah ketika kamu membawaku ke rumah keluargamu. Merawatku yang sedang sakit dengan telaten. Saat itu aku ingin sakit terus, agar kamu tetap di sampingku. Sedangkan hal yang paling membahagiakan untukku adalah ketika untuk pertama kalinya aku memasak untukmu, membangunkanmu sahur, dan melihat kamu makan masakanku tanpa protes.

Dan tak terasa kita sudah melewati tahun keempat. Satu hal yang paling membahagiakan adalah restu dari kedua orang tuaku untuk kita. Ibuku yang mempunyai syarat setinggi langit untuk laki-laki yang ingin menjadikanku sebagai pacar dan calon istri, dengan mudahnya memberi restu. Begitu juga ayahku. Beliau tak banyak bicara. Harus kuakui, tidak hanya hatiku, tapi hati kedua orang tuaku juga berhasil kamu rebut. Dan aku berharap Ibumu juga memberi restu.
Banyak hal yang aku sukai darimu, dan mungkin karena itu juga aku sangat tolerir terhadap kekuranganmu. Karena memang tak ada manusia sempurna di dunia ini. Dan aku berharap cerita kita tidak berakhir sampai di sini. Masih banyak episode kehidupan yang hendak kulalui bersamamu. Banyak hal yang ingin kubagi denganmu. Dalam senang maupun susah, aku harap kalimat itu tetap untukku “yang pertama dan terakhir”. Karena kamu juga yang pertama dan kuberharap yang terakhir untukku. Karena hatiku padamu. Karena aku mencintaimu.
TO BE CONTINEU….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar