Rabu, 17 Agustus 2011
Saat Matahari Terbenam
Kutatap lekat wajah pria di depanku yang sedang asyik melahap makan siangnya. Dan aku semakin yakin, wajah oriental lengkap dengan mata sipitnya inilah yang telah menarik hatiku sembilan tahun lalu. Semakin tak menyangka bahwa dia akan menjadi seseorang yang begitu berarti bagiku. Bukan sebagai kekasih, tentu saja bukan. Karena sejak awal aku tak berniat menjadikan dia sebagai kekasih, karena beberapa hal.
“Kenapa melihatku seperti itu?” Ri Chi, pria itu bertanya setelah menyadari aku menatapnya lama. Seperti maling yang tertangkap basah, aku sedikit salah tingkah dan mulai menyentuh makan siangku sendiri. Sekarang gantian dia yang mulai menatapku, menunggu jawaban.
“Apa?”tanyaku, pura-pura bodoh. Dia mengerucutkan mulutnya, matanya tajam tepat melihat di manik mataku.
“Ada yang ingin kamu tanyakan?”suaranya sedikit dalam, tanda dia serius bertanya. Aku diam sebentar, memikirkan pertanyaan yang sejak tadi bergelayut di kepalaku.
“Hm…oppa…kapan berencana untuk menikah?”
Dia sedikit terkejut mendengar pertanyaanku, kemudian tersenyum.
“Memangnya kenapa?”
“Bukan apa-apa. Hanya ingin tahu. Iseng.”
Aku mulai mengalihkan perhatianku dengan keadaan restoran fastfood tempat kami makan siang. Karena ini hari Minggu, jadi tamu sedikit ramai dan memenuhi hampir semua meja yang tersedia. Semua pelayan sibuk melayani tamu yang memesan makanan. Dan karena hanya hari Minggu bisa bertemu dengan Ri Chi oppa, kami memilih makan siang di luar dan restoran ini menjadi pilihan kami.
“Kalau sudah selesai, sebaiknya kita keluar saja. Sepertinya banyak yang mengantri, kasihan mereka tidak kebagian tempat duduk,”kata Ri Chi, kemudian bangkit dari tempat duduknya. Aku mengangguk dan berjalan mengikutinya.
Ri Chi sebenarnya mempunyai nama asli Choi Kwang Tae. Tapi aku lebih senang memanggilnya Ri Chi oppa, atau oppa saja yang berarti kakak laki-laki. Karena menurutku panggilan itu berarti matahari,sama artinya dengan nama aslinya, namun itu merupakan panggilan sayangku padanya. Teman-teman Ri Chi sendiri memanggilnya Kwang Tae-ssi saja. Ri Chi oppa lebih tua dua tahun dariku, dan sekarang dia sudah bekerja di sebuah perusahaan swasta. Sementara aku masih kuliah tingkat tiga di sebuah universitas swasta di Seoul ini. Kenapa kami bisa bertemu, mungkin dapat aku katakan, itu takdir.
“Jadi kenapa kamu bertanya seperti itu? Kapan aku akan menikah?”Ternyata dia masih belum puas atas jawabanku.
Kami duduk di bangku taman dekat restoran fastfood tadi. Taman ini sedikit sepi. Mungkin karena sekarang siang hari di musim panas, dan cuaca hari ini cukup terik, membuat orang lebih memilih berada di dalam ruangan ber-AC dibandingkan harus bersantai di taman. Tapi aku senang, karena akan lebih leluasa mengobrol dengan Ri Chi oppa.
“Sepertinya aku sudah menjawabnya tadi..hanya iseng.”
“Dan sepertinya aku mempunyai firasat, bahwa jawabannya lebih dari sekedar iseng.” Ri Chi ngotot. Aku tersenyum. Sepertinya memang harus dibicarakan, atau dia akan terus bertanya hal yang sama sampai aku bosan.
“Aku hanya penasaran, jika oppa menikah nanti, apakah kita masih bisa seperti sekarang? Makan siang atau makan malam bersama, jalan-jalan di hari Minggu, saling kirim sms, mengobrol, berantem, dan melakukan hal-hal yang biasa kita lakukan. Jujur saja, aku sedikit tidak rela.”
“Hanya itu?” Aku menoleh dan melihat Ri Chi oppa tersenyum. Senyum itu lagi,keluhku dalam hati. Karena senyum itu aku semakin tidak rela hilang begitu saja.
“Lebih tepatnya, aku belum siap kehilangan seseorang yang bisa aku andalkan. Selama aku kuliah dan jauh dari orang tua, hanya oppa yang bisa aku mintai tolong.”
“Ya! Jadi selama ini aku hanya dimanfaatkan?! Dasar adik tak tahu diri!” Ri Chi mengacak-ngacak rambutku dengan gemas.
“Arrkkhh…oppa! Kau merusak rambutku! Kau tahu berapa harga yang harus kubayar untuk merawat rambut ini?!”Aku berusaha menghentikan ulahnya mengacak-acak rambutku sebelum tatanannya benar-benar hancur. Dia hanya tertawa geli melihat aku mengomel sendiri sambil merapikan rambutku. Melihatnya tertawa seperti itu membuatku gemas dan ingin membalasnya. Tapi belum sempat aku menggapai kepalanya, dia sudah mengelak, tetap dengan tawanya yang renyah itu. Akhirnya kami kejar-kejaran di sekitar taman, tanpa peduli panasnya matahari yang menyengat di atas kepala kami.
****
Dua hari sebelumnya
“Jangan dekati Kwang Tae-ssi lagi. Aku mohon.”
Aku menatap wajah wanita yang baru saja memohon itu takjub. Tidak mengira akan mendengar permohonan seperti itu dari bibir indah wanita yang biasa aku panggil Unni.
“ Kenapa?”tanyaku padanya.
“Aku hanya tidak suka kau dekat-dekat dengannya. Itu membuatku tak nyaman. Sekali lagi aku mohon padamu, Nina-ssi.” Mendengarnya, tawaku hampir meledak. Permintaan apa itu?! Yang benar saja!
“Maaf, tapi aku tidak bisa memenuhi permintaan Unni,”jawabku tanpa perlu berpikir panjang.
“Kenapa?”tanyanya
“Karena aku dan oppa sudah sepakat. Jika aku menjauh, itu akan melukai hatinya. Aku akan tetap seperti biasa dengannya, sampai oppa sendiri yang memutuskan untuk melepasku.”
Aku beranjak meninggalkan Unni. Mungkin dia akan marah karena permohonannya tidak terkabul, dan aku tidak peduli akan tanggapannya terhadapku yang terlihat seperti wanita murahan yang menggoda pria yang jelas-jelas milik orang lain. Ri Chi oppa adalah orang yang sangat penting bagiku, paling tidak saat ini. Aku sama sekali tidak ikhlas kalau harus berpisah dengannya hanya karena ada orang lain yang datang dalam kehidupan kami dan keberatan dengan hubungan kami yang sudah dimulai sejak lama.
***
Sesuatu yang abadi adalah perubahan. Itu pepatah yang pernah kudengar dari seseorang. Perubahan itu berjalan seiring dengan waktu, dan akan terus terjadi meskipun ada hal yang tidak ingin kita ubah. Hal yang tidak ingin kita ubah misalnya kebahagiaan. Dan merupakan saat-saat yang sangat bahagia bagiku ketika mengenal Ri Chi oppa dan dekat dengannya sampai akhirnya kami harus berpisah karena hal yang pernah kutanyakan sebelumnya.
“Maaf, tapi Hae Young tidak terlalu menyukaimu. Aku selalu berusaha menjelaskan, tapi akhirnya yang ada hanya pertengkaran.” Ada sedikit penyesalan dalam kata-kata yang keluar dari bibir tipis Ri Chi oppa. Aku tidak mengatakan apa-apa. Sejak awal, Unni memang tidak menyukaiku.
“Aku hanya takut pernikahan kami harus berakhir hanya karena hal sepele seperti ini. Maafkan aku.”
Aku menghirup napas sebentar. Memberi lebih banyak oksigen pada paru-paruku yang sepertinya macet mengabsorbsi oksigen ke aliran darahku. Aku merasa otakku kram sejenak karena hal itu.
“Aku adalah orang yang paling bahagia saat oppa menikah dengan Unni, karena aku melihat oppa juga bahagia. Aku berharap kebahagiaan yang saat itu terpancar di wajah oppa tetap ada, meskipun dengan itu aku harus jauh dari kehidupan oppa.”
“Nina-ah, aku tak bermaksud…”
“Aku tahu!” jawabku sebelum Ri Chi oppa menyelesaikan kalimatnya. “Aku tahu, karena sejak itu aku sadar, semua memang sudah tak sama lagi. Sekarang oppa adalah milik Unni,” dan aku bukan siapa-siapa oppa, tidak pernah menjadi siapa-siapa, lanjutku dalam hati.
“Kamu tetap adikku, Nina-ah…”
Aku tersenyum pedih. “Aku juga tahu hal itu. Oppa juga tetap akan menjadi matahari bagiku, dan tetap bersinar meskipun ia terbenam. Jadi oppa jangan merasa bersalah atau menyesal. Lagi pula, perjanjian kita sampai aku selesai kuliah. Sekarang aku sudah bekerja, oppa tidak perlu khawatir begitu. Aku mandiri sekarang,”kataku sedikit bergurau dengannya. Ri Chi oppa mengerucutkan bibirnya, terlihat kesal dengan kata-kataku barusan.
“Ya sudah, aku pergi dulu. Pekerjaanku menunggu di atas meja dan harus kuselesaikan hari ini. Aku tidak berencana mendengar omelan bosku sepanjang hari ini. Kau tahu kan bagaimana bosku itu kalau sudah mengomel?” Ri Chi oppa tertawa geli mendengar keluhanku. Aku pun beranjak meninggalkan Ri Chi oppa.
Hampa. Itu yang kurasakan. Rasanya ada lubang besar di hatiku yang menghisap semua kebahagiaan yang pernah kurasakan sebelumnya. Kehilangannya membuatku sakit. Meskipun begitu, aku tetap berdoa untuk kebahagiaannya. Setelah itu, giliranku mencari kebahagianku sendiri. Perpisahan ini memang tak terelakkan, namun aku yakin ada pertemuan-pertemuan lain yang lebih berarti. Masih ada bintang lain yang sinarnya tak kalah dari matahari meskipun jaraknya sangat jauh.
END
Kamis, 04 Agustus 2011
Hatiku Padamu
4 Agustus 2007
“Nin, aku suka kamu.” Akhirnya aku mendengar kalimat itu terucap untukku. Aku tersenyum, cukup surprise meskipun aku sudah mempersiapkan hatiku untuk menerimamu. Namun, alih-alih menjawab ‘iya’ aku malah bertanya, “Kenapa bisa suka denganku? Bukan yang lain? Sejak kapan?” Aku melihat kegugupan di wajahmu, bahkan kamu tak berani duduk di sampingku seperti biasa, tapi berdiri tepat di depanku dan menatap mataku. “Entahlah, mungkin sejak kelas dua SMA, atau sebelumnya. Saat kamu bilang kamu sudah punya pacar, perasaanku saat itu sakit, dan aku baru sadar ternyata aku suka kamu. Dan kenapa aku bisa suka, karena selama ini kamu yang selalu ada di sampingku, yang selalu membantuku, yang selalu sabar padaku. Dan aku tahu, kamu nggak akan histeris setelah mendengar pengakuanku ini. Itu yang paling aku suka,”jawabmu tuntas.
“Aku juga suka kamu,”kataku akhirnya. Mengaku. Dan aku melihat sedikit keterkejutan di matamu. “Sejak lama, waktu kelas 2 SMP.” Sejak kamu meminjam buku ceritaku, kamu juga diam-diam meminjam hatiku. Bukunya kamu kembalikan, tapi hatiku tidak, sampai sekarang,kataku dalam hati.
“Tapi kenapa baru sekarang ngomongnya?”tanyaku lagi. Kulihat kamu agak lama berpikir, sebelum akhirnya kamu menjawab,”Karena aku perlu meyakinkan diriku,Nin. Aku ingin ini menjadi yang pertama dan yang terakhir buatku.” Aku melayang saat itu.
“Jadi?” tanyamu padaku.
“Jadi, kita seperti biasa saja.”jawabku. Apalagi? Karena saat kamu bilang aku tak akan histeris, aku tak punya pilihan lain selain menjawab seperti itu. Tak ada tuntutan, seperti biasa. Dan kamu mengangguk.
17 Agustus 2007
Aku tak melihat dirimu. Aku bertanya-tanya kepada teman-teman yang lain, mereka tak tahu kabarmu. Padahal aku ingin, sangat ingin bertemu denganmu. Ada hal yang harus aku bicarakan. Sampai akhirnya aku mendapat kabar bahwa kamu sedang sakit. Mengetahui itu, aku jadi tidak konsentrasi mengikuti upacara, tidak nafsu makan, pikiranku kalut. Dan aku memutuskan ke rumahmu sore harinya.
“Ada apa?” tanyamu saat aku datang. Wajahmu sedikit pucat saat itu, membuatku sedikit tak tega kalau harus membicarakan masalahku padamu. Tapi aku harus bilang padamu karena waktuku tak banyak. Aku butuh kepastian dan dukungan.
“Dia memberiku 24 jam untuk memutuskan.” Keningmu sedikit berkerut mendengar kata-kataku.
“Biar aku yang bicara dengannya.” Akhirnya aku menyerahkan semua padamu. Dan aku sangat ingin memelukmu, saat kamu bilang tak akan melepasku sampai kapan pun. 17 Agustus, bukan hanya hari kemerdekaan Indonesia, tapi juga hari kemerdekaan untukku.
***
Tahun pertama sudah lewat. Banyak hal yang terjadi di antara kita. Tapi satu hal yang pasti, kamu sedikit berubah. Kamu lebih canggung dari sebelumnya, memanggilku dengan nama, dan sangat-sangat sopan padaku. Teman-teman di kelas sudah curiga, bahwa kita “putus”. Sumpah, ini membuatku tertawa karena kita justru baru mulai.
Hingga pada tahun kedua. Tahun terberat yang harus kita lalui bersama. Tahun dimana kita terpisah jarak. Karena 5 tahun sebelumnya kita selalu bersama, kali ini aku benar-benar frustasi karena jauh darimu. Tapi itu harus aku lakukan, demi cita-citaku.
Aku tahu, banyak godaan dan cobaan melanda. Mulai dari kecuekanmu yang hampir membuatku putus asa sehingga aku mencoba mencari perhatian dari yang lain sampai-sampai kita harus break untuk sementara. Aku benar-benar merasa sangat egois dan sedih, karena kamu menerima apa pun keputusanku saat itu. Kamu memberiku waktu dan aku bersyukur itu tak berlangsung lama. Aku sadar, bahwa kamu adalah yang terbaik dan tak tergantikan oleh siapa pun. Apalagi saat kamu sedang dalam masa berkabung karena kehilangan seseorang yang sangat penting dalam hidupmu. Saat itu aku berkata dalam hati, bahwa aku akan selalu berada di sisimu, mendukungmu, dan menemanimu hingga kamu tak perlu merasa takut atau pun bersedih. Aku ingin menjadi kebahagiaanmu.
Hal tak terlupakan saat itu adalah ketika kamu membawaku ke rumah keluargamu. Merawatku yang sedang sakit dengan telaten. Saat itu aku ingin sakit terus, agar kamu tetap di sampingku. Sedangkan hal yang paling membahagiakan untukku adalah ketika untuk pertama kalinya aku memasak untukmu, membangunkanmu sahur, dan melihat kamu makan masakanku tanpa protes.
Sampai akhirnya di tahun ketiga. Kamu ingin menggapai kesuksesanmu dan itu harus dibayar dengan jarak yang memisahkan kita. Jika tahun sebelumnya aku dapat melihatmu paling tidak untuk satu kali dalam sebulan, kali ini aku harus ikhlas melihatmu kurang dari 2 minggu dalam satu satu tahun. Belum lagi lingkungan pergaulanmu yang berubah, kedekatan dan kesibukanmu dengan teman-temanmu di sana membuatku cemburu. Aku merasa sangat lucu. Cemburu bukanlah hal yang pantas aku rasakan, namun tetap saja rasa itu muncul. Berbagai macam cara dan metode konyol aku gunakan agar rasa itu tak muncul. Apalagi saat teman-temanku berkomentar tentang itu, semakin membuatku panas. Namun, tetap saja aku membelamu mati-matian. dan hal yang tak terlupakan adalah ketika kamu membawa dan memperkenalkanku sebagai pacarmu kepada keluargamu di Sambas. Bukan sebagai teman seperti biasa, tapi sebagai pacar.
Dan tak terasa kita sudah melewati tahun keempat. Satu hal yang paling membahagiakan adalah restu dari kedua orang tuaku untuk kita. Ibuku yang mempunyai syarat setinggi langit untuk laki-laki yang ingin menjadikanku sebagai pacar dan calon istri, dengan mudahnya memberi restu. Begitu juga ayahku. Beliau tak banyak bicara. Harus kuakui, tidak hanya hatiku, tapi hati kedua orang tuaku juga berhasil kamu rebut. Dan aku berharap Ibumu juga memberi restu.
Banyak hal yang aku sukai darimu, dan mungkin karena itu juga aku sangat tolerir terhadap kekuranganmu. Karena memang tak ada manusia sempurna di dunia ini. Dan aku berharap cerita kita tidak berakhir sampai di sini. Masih banyak episode kehidupan yang hendak kulalui bersamamu. Banyak hal yang ingin kubagi denganmu. Dalam senang maupun susah, aku harap kalimat itu tetap untukku “yang pertama dan terakhir”. Karena kamu juga yang pertama dan kuberharap yang terakhir untukku. Karena hatiku padamu. Karena aku mencintaimu.
TO BE CONTINEU….
Langganan:
Postingan (Atom)