Sabtu, 02 Oktober 2010

MerCi'


Namanya Rico Mercianto. Entah mengapa takdir mempertemukan kami. Awal yang biasa saja, polos. Dia tiba-tiba berada di depan pintu rumahku, mengenakan seragam SMA yang ujung bawahnya tidak dimasukkan ke dalam celana, rambut pendek yang diberi gel sehingga terlihat kaku seperti duri landak. Sebelum aku tahu namanya, aku menjulukinya: Si Landak.
“Dedinya ada?”tanyanya. Aku melongo, ngeri melihat penampilannya.
“Dedinya ada?” dia mengulang pertanyaannya. Aku baru sadar, dan cepat-cepat mengangguk. Kemudian aku memanggil Dedi, abang sepupuku. Sementara aku masuk ke ruang tengah sambil curi-curi lihat apa yang dilakukan dua orang cowok itu di ruang tamu.
“Jadi umur Bang Rico berapa?”setelah sekian lama kenal, dan dia menunggu Dedi di beranda rumah. Untuk pertama kali aku berani membuka pembicaraan dengannya.
“16,”jawabnya singkat. Aku ber-oooo ria. “Masih muda, tapi udah kelas 2, padahal biasanya yang duduk di kelas 2 SMA itu kan umurnya 17 tahun. Emangnya lahir tahun berapa? Tanggalnya?”tanyaku lancang. Kemudian aku hanya bisa menepuk mulutku, sangat malu. Bersyukur, tempat itu sedikit gelap karena aku merasa wajahku panas. Dia tersenyum, dengan ringan menyebut sederetan angka tanggal lahir, yang meski hanya sekali diucapkan, aku mengingatnya hingga sekarang. Hatiku bersorak. Hanya lebih tua dua tahun, tapi dia tampak sangat dewasa di mataku yang baru kelas 2 SMP. Kami terdiam cukup lama dengan pikiran masing-masing, hingga terdengar ibuku memanggil hingga mau tidak mau aku beranjak dari beranda rumah dan masuk meninggalkannya sendiri menunggu abangku.
***
“Hahahaha…jadi cuma segini hasilnya?”kulihat wajah itu merengut mendengar pertanyaanku yang lebih dibilang ejekan dibanding pertanyaan.
“Eh, meskipun nilai segini udah lumayan tau!! Belum pernah ngerasa masuk teknik nih anak!” katanya membela diri dan tak lupa mendaratkan jitakan di kepalaku. Aku cuma meringis, sedikit nggak tega untuk mengatainya lebih kejam. Kemudian aku memperhatikan ijazahnya, dan terukir di sana sebuah nama: RICO MERCIANTO. Keningku berkerut, keren juga nama nih anak pikirku.
“Kenapa lagi?”tanyanya. Aku menunjuk namanya.
“Haa..bagus nggak nama Abang? Sesuai orangnya.” Aku mencibir.
“Merci itu artinya terima kasih, bahasa Prancis.” Katanya lagi.
“Bangga tuh,”kataku, lagi-lagi mencibir. Dia hanya terkekeh, mata sipitnya semakin kecil saat ia tertawa.

Aku mengingat momen itu dengan baik. Itu terjadi hampir dua tahun lalu, setelah 6 tahun sejak perkenalan kami. Nama itu begitu melekat, Merci. Sepertinya, nama itu bukan hanya ucapan terima kasih dari kedua orang tuanya akan kehadirannya di muka bumi ini. Nama itu juga seakan mengisyaratkan orang-orang di dekatnya untuk mengucapkan terima kasih. Terutama aku.
Karena sejak aku harus kuliah dan untuk pertama kalinya aku harus jauh dari orang tua, hanya dia yang dapat kumintai bantuan. Mengantar jemput, kemanapun aku mau. Menemani belanja, makan, atau hanya sekedar mendengar cerita atau keluhanku, bahkan rela menemaniku mengerjakan laporan di tengah malam sampai dia harus kehilangan waktu tidurnya juga pulsa. Tapi dia tetap seperti itu, tidak mengeluh sama sekali. Aku tidak dapat memberinya apa-apa, kecuali ucapan MERCI’…TERIMA KASIH.
TERIMA KASIH atas kesediaannya menjadi abang untukku. TERIMA KASIH atas semua waktu yang dia luangkan untukku. TERIMA KASIH atas kesabarannya mendengar cerita dan keluhanku yang kadang basi banget. TERIMA KASIH atas senyumnya yang menghapus dukaku. TERIMA KASIH atas uluran tangannya saat aku butuh bantuan. TERIMA KASIH karena sudi menjadi bagian dari hidupku.

Tidak ada komentar: