Sabtu, 20 Juni 2009

Untukmu Sahabat

"Nin, doakan aku semoga nggak kenapa-kenapa di sana ya..."

Kata-kata yang terbaca di mataku itu membuatku merasa hangat.
Meskipun semua orang bisa saja meminta hal tersebut padaku, tapi akan berbeda ketika yang meminta adalah sahabat. Sahabat yang paling kusayang...

Untukmu sahabat...
Tak perlu ragu akan ketulusanku menyayangimu.
Tak perlu ragu bahwa kata-kata dan doa terbaik untukmu.
Tak perlu ragu aku akan selalu tersenyum akan kesuksesanmu.
Tak perlu ragu aku akan selalu berusaha untuk ada saat tersedihmu.
Tak perlu ragu aku merindukanmu saat kita jauh.

Jangan pernah sangsikan itu...
Dan aku bersyukur telah menjadi bagian dari kehidupanmu.

I luPh U....

G' Menaaanggg

Panggung Sandiwara Dika
(karya: Nina Apriani)

Pembunuhan massal, itu yang ada di pikiran nakal Nayla. Betapa tidak, matahari seakan ingin membakar segala sesuatu di permukaan bumi. Terdengar hiperbola, tapi hanya itu yang dapat menggambarkan kekesalan hati Nayla dengan suhu udara yang begitu panas. Membuatnya tidak tahan untuk tetap berada di kelas. Belum sempat dia beranjak dari tempat duduknya, rencana untuk ngadem di mushalla sekolah terpaksa tertunda karena teriakan Raya yang terlihat begitu tergesa-gesa berlari ke arahnya.
“Nay, gawat! Pokoknya gawat. Lebih gawat dari topan, badai, puting beliung, petir di siang bolong. Pokoknya gawat!”
“Apanya yang gawat? Puja melahirkan lagi?”
Raya melotot mendengar pertanyaanku. “Ngaco! Serius napa!”katanya sewot. Nayla hanya tertawa, mengingat yang dimaksud Puja itu, kucing yang sering nongkrong di sekolah dan baru-baru ini melahirkan. Ya nggak mungkin dong kalau Puja brojol lagi.
“Trus, apanya yang gawat?”ulang Nayla.Kali ini serius.
“Dika! Dika dipanggil BK!” Kening Nayla bertaut. Apa hebohnya? Dika kan emang langganan masuk BK.
“Bukan kasus biasa. Kali ini gawat banget!”
“Yee..gawat melulu. Ngomong kok ya diulang-ulang. Nggak variatif banget!”kata Nayla sewot mendengar kata ‘gawat’ berulang-ulang. Raya nyengir, tapi rautnya berubah menjadi serius lagi.
“Masalahnya ini bukan kasus biasa dan terus terang aku aja nggak percaya. Drugs. Doi dituduh ngobat! Pak Andre yang mergokin dia di gudang sama Rei, si begundal itu. Aduh…ada-ada aja tuh anak! Padahal dia belum lama ini juga diskors kan?”kata Raya berapi-api. Ada sedikit binar khawatir di matanya. Sementara Nayla langsung kaku. Tubuhnya sedikit menggigil menahan marah dan rasa tak percaya.
“Sekarang dia di mana?”Tanya Nayla begitu dia berhasil menguasai diri.
“Pulang. Kayaknya dia nggak bakal bertahan deh,”ujar Raya pelan.
Dan Nayla seakan kehilangan jiwa. Dua jam pelajaran terakhir sama sekali tak digubrisnya hingga bel pulang berbunyi Dia juga lupa kalau hari ini begitu panas, karena hatinya lebih panas.
***
Nayla resah di kamarnya. Entah sudah berapa SMS dikirim tanpa balasan dari Dika. Teleponnya juga tidak diangkat. “Ah! Kemana sih nih anak?! Apa nggak tahu kalau aku khawatir? Jadi aku dianggap angin selama ini?! Atau tebu? Habis manis sepah dibuang gitu?”teriak Nayla tanpa sadar suaranya sudah seperti loudspeaker bervolume maksimal. Hingga memaksa Radit, adiknya melongokkan kepala ke kamarnya.
“Kenapa sih Kak? Teriak-teriak kayak orang mau demo? Mau ngalah-ngalahin demonya mahasiswa yang nuntut turunnya harga sembako, BBM, trus apa lagi, hmm…"
Bukk! Kata-kata Radit disambut dengan lemparan bantal bahkan sebelum dia menyelesaikan kalimatnya. Radit melotot ke arah kakaknya, tapi urung ngomel karena ternyata mata kakaknya itu lebih seram dari perkiraan.
“Ya deh, iya,”gerutu Radit pelan. Nayla langsung mengunci pintu kamarnya begitu Radit keluar. Resahnya kembali lagi. Dika sama sekali tidak membalas SMSnya.
Dika. Lengkapnya Andika Setiawan. Sudah menjadi sahabat Nayla sejak zaman dia masih bawa bekal alias masih TK. Dulu rumah mereka bersebelahan. Sering main sama-sama, berangkat sekolah bersama hingga akhir mereka masih berseragam merah putih. Dan Nayla semakin banyak melihat perubahan pada diri sahabatnya itu sejak mereka SMP. Apalagi saat mereka harus berpisah karena Dika pindah ke luar kota, sedangkan Nayla masih setia di tempatnya lahir dan dibesarkan.
Mereka bertemu lagi awal semester genap di kelas XI, setahun yang lalu.Ternyata mereka satu kelas lagi. Awalnya, Nayla begitu girang bertemu dengan Dika. Namun, sosok Dika benar-benar berubah. Bukan hanya dari segi fisik, tapi juga sikap dan tingkahnya yang semakin tak terkontrol. Sering membuat onar, banyak kasus baik yang ringan maupun lumayan berat hingga dia harus mengalami skorsing beberapa kali, membuat Nay harus geleng-geleng kepala dan itu hanya ditanggapi Dika dengan senyum. Dan satu lagi, Dika merokok. Hal yang sangat Nayla benci tapi tak kuasa mencegah Dika untuk berhenti, malah Dika semakin sering membuatnya mati kutu.
“Kenapa sih harus merokok?”Tanya Nayla suatu hari, saat mereka sedang santai di beranda rumah Dika yang asri.
“Ya karena aku suka,”jawab Dika sekenanya.
“Tapi kan buang-buang duit Mending buat beli makanan fakir miskin atau yatim piatu.”
“Ini juga lagi ngasih sedekah kok.” Nayla mendelik.”Dan aku juga lagi menafkahi diriku sendiri dengan merokok, Menafkahi batin,”lanjut Dika sambil tersenyum. Dalam hati, Nayla bersyukur, sorot mata Dika yang lembut saat menatapnya sama sekali tak berubah.
“Apanya yang sedekah? Ngimpi bisa sedekah kalo duitnya kamu hambur-hamburkan buat rokok,”protes Nayla. Dika lagi-lagi tersenyum. “Indonesia juga tambah maju kalau aku tetap merokok,”tambah Dika.
“Iiih…mana logikanya coba antara merokok dengan memajukan Indonesia? Yang ada generasi kayak kalian itu bikin Indonesia bobrok gara-gara rentan terserang penyakit. Belum lagi penumpulan otak karena asupan gizi otak hanya sebatas asap tercemar.” Dika tertawa tanpa suara di sampingnya, sambil mematikan rokok yang tinggal seujung kuku sebelum filter.
“Ya adalah. Coba kamu pikir deh. Penghasilan bea cukai berapa sich dari rokok? Besar banget. Paling nggak, ada retribusi donk buat pembangunan. Belum lagi beasiswa-beasiswa bagi pelajar berprestasi dan tidak mampu, juga dari perusahaan rokok. Penghijauan…dan tak lupa olahraga Indonesia juga maju karena rokok biasanya jadi sponsor utama dalam setiap kegiatannya. Nah, sebenarnya para perokok sangat berjasa dalam memajukan Indonesia, karena mereka ikut andil dalam hal itu, termasuk aku,”jelas Dika panjang lebar.
“Tetap aja kamu nggak dapat apa-apa selain tubuh kering kerontang dan gigi cokelat yang sama sekali nggak bikin ganteng. Kere lagi.”
“Yang penting Mama nggak ngelarang dan kamu tetap suka dekat-dekat aku,”jawab Dika enteng. Nayla waktu itu jelas keki setengah mati,tapi tidak dapat membalas. Susah deh kalau mama ikut disebut-sebut.
Dika,apa sih yang ada dalam pikiranmu? Kalau soal rokok sih nggak masalah, tapi ini DRUGS! Bukan masalah gampang, dan sama sekali tidak lucu! Kata Nayla dalam hati. Namun akhirnya dia tertidur karena lelah.
***
“Jadi hanya sebatas itu rasa percayamu?”Tanya Dika pedas. Nayla tidak dapat menjawab. Cuaca masih saja panas seperti kemarin, tapi yang membuat Nayla gerah adalah pertanyaan Dika. Sebagai gantinya, Nayla hanya memandang bunga-bunga yang terawat indah di taman rumah Dika. Pada akhirnya Nayla ke rumah Dika karena tidak tahan menunggu, apalagi di sekolah tadi Nayla tidak menemukan sosok sahabatnya itu.
“Aku hanya mau konfirmasi. Apa itu salah?”
“Tapi dari pertanyaanmu aku menangkap nada itu. Ragu.”
Nayla menghela napas, mulai tidak tahu harus bersikap seperti apa untuk mengetahui yang sebenarnya tanpa melukai perasaan Dika.”Ka, kita udah lama bersahabat…”
“Justru itu, seharusnya kamu percaya kalau aku tidak seperti yang orang-orang pikirkan. Ini malah ikut-ikutan latah,”sambar Dika sebelum Nayla menyelesaikan kata-katanya.
“Pertimbanganku bukan hanya berdasarkan informasi di luar. Tapi sikapmu sama sekali nggak mendukung”
“Jadi hanya itu? Aku kira persahabatan kita berkesan buatmu. Nggak nyangka, sudut pandangmu bahkan stereotip dengan yang lain.”
Nayla terdiam, membenarkan kata-kata Dika. Dalam hati dia juga kesal dengan pikirannya yang tidak dapat mempercayai Dika. Padahal dia merasa selama ini sangat mengenal sosok Dika, walaupun sedikit demi sedikit sohibnya bermetamorfosis. Namun Nayla yakin, mata itu tidak berubah. Bukankah mata adalah jendela hati? Tapi mengapa dia masih tak percaya?
“Lebih baik kamu pulang sekarang. Udah hampir malam. Kamu nggak mau Mama Lila panik gara-gara nyariin kamu kan?” Nayla mengangguk. Percuma memaksa Dika, apalagi kata-kata halus mengusir tadi sudah keluar dari bibirnya yang agak kecokelatan karena nikotin. Dia berpamitan dengan mama Dika kemudian beranjak pergi dari rumah bergaya minimalis itu.
Sepanjang perjalanan air mata Nayla jatuh. Kali ini bukan hanya khawatir akan masalah yang dihadapi Dika, tapi juga perasaan was-was kehilangan sahabatnya itu. Dari setiap kata yang keluar, Nayla tahu Dika sangat marah padanya. Wajar saja kalau dia marah kalau sahabatnya sendiri bahkan tidak percaya bahwa dia tidak bersalah. Padahal dulu Nayla selalu membela Dika setiap ada masalah hingga membuat teman-temannya heran akan sikapnya dan mulai ikut-ikutan mencemooh. Dibilang dia dipelet Dika, pembantu Dika, anteknya Dika, fans fanatiknya Dika, serta banyak lagi, meskipun panggilan-panggilan itu datang dari anak-anak yang memang dari awal tidak suka padanya, dia tidak peduli.
***
Sudah hari yang ketiga dan Nayla yakin Dika masih senang menghabiskan waktunya di rumah. Setelah percakapan kemarin, Dika masih belum mau membalas SMS atau mengangkat teleponnya. Dia pun dengan gontai berjalan ke kelasnya. Dan menatap heran melihat pemandangan aneh di atas mejanya, sebatang cokelat, mawar putih kesukaanya dan kartu beramplop biru muda.
“Udah dari tadi pagi di situ. Buat kamu, auk dari siapa,”kata Raya seakan menjawab keheranan Nayla. Nayla ber’oh’ dan membuka kartu bergambar bidadari bersayap putih itu dan membacanya perlahan.
‘Maaf jika selama ini aku tidak menjadi seseorang yang baik, malah membuatmu lelah dengan segala tingkahku. Maaf jika selama ini aku selalu berlindung di balik punggungmu dari segala masalah yang aku timbulkan. Maaf jika selama mengenalku kamu tak memperoleh gambaran seutuhnya tentang diriku. Dan maaf jika aku nantinya menjadi semakin jauh darimu karena kesibukanku syuting yang semuanya tak terlepas dari berhasilnya usahaku mengerjaimu beberapa hari sebelumnya. Sumpah, wajah khawatir, memelas memohon penjelasan, serta mata beningmu yang berkaca-kaca saat menatapku dengan rasa tidak percaya bikin aku kram perut karena menahan tawa. Tengkyu cantik, telah memuluskan langkahku menjadi artis dengan film pertama berjudul SAHABATKU JUNKIES. Doain moga tetap survive ya! Tapi sorry neh, aku cuma bisa beliin milk chocolate, bukan dark chocolate kesukaanmu. Tapi mawar putihnya aku yakin kamu bakal suka. n_n.NB: maaf jika ada kesamaan tempat dan karakter. Semua emang direncanakan. Kritik dan saran kunantikan.’
“Dikaaaaa….!!!!”
“Kenapa neh manggil-manggil. Aku tahu sih,kamu pasti kangen banget sama aku.”Dika muncul di depan kelas dengan langkah anggun bak pangeran.
“Heh kunyuk! GR banget lu!”
“Mending GR deh daripada minder.” Nayla berkacak pinggang, sedangkan Dika dihadapannya tersenyum jahil sambil mengangkat sebelah alisnya.
“Suka mawarnya kan? Syukur bunganya udah mekar, jadi langsung aku potong deh sebelum ketahuan sama Mama. Bisa berabe.” Nayla menyipitkan matanya. Sepersekian detik, Dika menghindar dari cubitan Nayla dan melesat melarikan diri, semakin cepat mengetahui Nayla menyusul di belakang. Sementara Raya geleng-geleng kepala menyaksikan dua sahabat aneh yang lagi kejar-kejaran di sepanjang koridor sekolah itu. Tapi begitu melihat cokelat Nayla yang masih terbungkus rapi, tak urung membuatnya tersenyum penuh arti. Lumayan buat camilan ntar istirahat, pikirnya sambil memasukkan cokelat ke dalam laci meja, kemudian duduk dengan tenang. Senyumnya masih terkembang hingga bel masuk berbunyi nyaring.
***